Rabu, 28 Mei 2008

S o r e I t u

Di ufuk barat matahari telah memerah, mengguratkan suatu keindahan di sudut-sudut langit yang terlihat seakan menyatu dengan bumi. Menebarkan suatu kehangatan di hamparan pasir yang diselingi beberapa pohon dan rumah penduduk. Sementara angin gurun berhembus lembut, suaranya membisikkan pada alam suatu keheningan, mengantarkan senja sore ini bersama awan kelabu yang merayap beriringan.
Di pojok luar kamarku aku duduk sendiri. sambil bertopang dagu kubiarkan mataku menyusuri keagungan pesona seni ini; seni yang tak akan bisa ditiru oleh mahluk sepertiku. Aku tak tau apa yang sedang aku pikirkan. Pikiranku terlanjur menerawang jauh, mengikuti kemana angin berlalu.
Senja sore ini memang sangat indah, hingga pikirku tak mungkin kumelewatkannya. Bagiku, ia seakan seorang dewi yang turun menemani kesendirianku, membelaiku, dan menawan hatiku. Dan masih kuperhatikan gerak alamNya, hingga diriku semakin lebur didalamnya. Tak habis pikir dan tanya, buat apa Tuhan menciptakan ini semua.
"Andai kau disini." tiba-tiba terbersit namanya dalam hati. Burung-burung yang terbang pulang ke tempat mereka belajar mulai mengepakkan sayap-sayapnya, menyeretku kembali pada suatu yang mencoba untuk kusingkirkan. Membuka memori lamaku, tentang seseorang:
"Ida, apa kau masih ingat aku?" sungguh, hatiku luruh setiap kali teringat namanya. Mataku meradang merah, menahan perasaan yang meluap di pelupuknya. Tapi, semuanya telah terjadi dan berlalu, memaksaku harus pergi jauh, hingga dia yang disana tak bisa untuk kusentuh.
Teringat saat aku tanpa sengaja bertemu di pinggir sebuah pantai karang berbatu. Kutanya nama dan siapa dirinya. Sampai akhirnya datang embun pagi yang membuka pintu hati. Sebuah bisikan yang ingin menjadikannya bunga yang selalu mekar, semerbak wanginya di tengah gurun yang telah tersiram oleh air cinta. Hinga suatu hari, timbul rasa ingin mengungkapkan getaran-getaran yang sering menyesakkan dada. Getaran-getaran yang menghampiriku sejak beberapa bulan yang lalu. Ya, setelah perkenalan itu. Sungguh tak bisa untuk ku mengelak , apalagi membunuh lalu menguburnya. Getaran-getaran itu datang begitu saja, membayangi hari-hariku dan merasuk dalam relung jiwa lalu bersatu dengan diriku.
Memang benar apa yang dikatakan orang bahwa cinta itu indah, yang bisa membuat orang gila karna keindahannya. Memberikan surga dengan para bidadari dan dayangnya. Melambungkan khayalan tertinggi menembus batas-batas dunia seperti seorang pecandu yang kehilangan akalnya.
Dan memang kini aku seperti orang gila. Bahkan mungkin benar-benar gila. Entah kemana akalku?!

"He, lo nglamun aja!!" kuingat saat itu tiba-tiba temenku menegur dari belakang, membuatku kaget. Tapi kujawab enteng seolah memang tidak ada yang kupikirkan.
"Nggak ada apa-apa. Lagi suntuk aja nih."
"mikirin dia ya, udah bilang aja lah…" lanjutnya sambil berlalu di hadapanku.

***
Tak terasa waktu terus berputar. Detik berganti menit, jam dan hari pun bersaing menyusul. Satu minggu telah lewat begitu saja. Aku tak ingat apa-apa. Aku yang saat itu sedang berada di kampung hanya mondar-mandir tanpa tau apa yang harus dikerjakan. Aku pusing, Mungkin karena sudah cukup lama mengenal enaknya sesuatu yang bernama JAKARTA, lalu kini harus diam di rumah. Tak ada kerja, teman juga entah kemana. Ditambah lagi dengan udara musim panas yang semakin menggila. Memang sih, beberapa hari terahir ini, langit berhias mendung, awan hitam menggulung-gulung. Tapi tak terlihat tanda akan turunnya hujan yang diharapkan. Seakan alam sedang bermain-main dengan manusia.
Kusaksikan para petani yang telah lelah menunggu tetesan kehidupan mereka dari langit, terdengar hanya menggerutu dan pasrah pada nasib. Tapi selalu saja mereka katakan penuh pengharapan "semoga saja hujan turun", hingga entah karena apa, tiba-tiba Tuhan pun menyuruh sang Malaikat untuk menurunkan butir-butir bening kesejukan dari langit, meski sangkaku itu hanya cukup untuk membersihkan udara yang telah penuh dengan debu kemarau.
Tapi yang kusangka ternyata salah. Mungkin langit sedang bersuka hati, menyaksikan kami memanjatkan beribu terima kasih, pada Tuhannya yang juga Tuhan kami. Maka gerimis pun terasa masih enggan untuk berhenti, bahkan setelah kelompok-kelompok hewan malam mulai berhamburan mencari makan, menggantikan saudara-saudaranya yang harus pulang. Sementara aku selesai sholat maghrib, temanku di Jakarta memberi kabar bahwa keberangkatan ke libya sepuluh hari lagi.
"Waduh, mati aku. Belum siap-siap lagi!!" gumamku kaget. Ya tiga bulan lalu aku memang mendaftar dan alhamdulillah bisa mendapat kesempatan untuk melanjutkan studiku di negeri hijau ini. Tapi meski begitu, toh tak urung kabar yang mendadak ini membuatku deg-degan juga.
Sebenarnya sebelum maghrib tadi aku akan menelpon dia. Aku ingin dia tau isi hatiku. Tak peduli apakah dia memang satu hati atau malah nantinya akan bertepuk sebelah tangan cintaku ini. Semuanya telah kurancang, mulai kalimat apa yang harus kuungkapkan, intonasi suara, sampai kemungkinan jawaban yang akan dia berikan. Tapi Ahh... semua itu kini berantakan. Rancangan tinggal rancangan, yang mengendap dalam lapisan otak dan perasaan, seperti nasib tanah yang kini sedang terbawa aliran air hujan. Oh, Tuhan....
Kembali ku teringat dia, kuarahkan mataku pada selembar foto yang ada diatas meja kecil dari kayu jati yang ada dalam kamarku. Wajahnya meski tidak secantik para bintang di televisi, namun ia bagai bulan purnama yang bersinar melewati dinding-dinding kegelapan malam. Ia terlihat begitu ayu dengan jilbabnya. Matanya yang bening mampu menundukkan tatapan-tatapan mata liar yang ingin menerkamnya. Senyumnya yang lembut nan anggun berkuasa mendamaikan jiwa-jiwa yang mudah terpesona oleh nafsu yang meraja.
Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba membuang sesak yang mulai bergemuruh dalam jiwa. Lalu kuhembuskan pelan-pelan. Kurasakan hawa yang mengalir dari paruku melewati tenggorokan dan rongga mulut, menyeret keluar sebagian beban yang menyumbat katub nafasku.
Jendela kamar yang kubiarkan terbuka, membawa belaian-belaian angin sejuk. Udara dalam kamar yang biasanya selalu bikin gerah itu kini digantikan dinginnya gerimis yang sejak sore tak kunjung reda. Suaranya berpadu dengan gemericik air yang jatuh dari atas genting. Mengesankan aku yang sedari tadi dengan pikiran kosong berdiri dekat jendela.
"Mengapa tak kau telpon saja dia?!" Pikirku.
"Dan ungkapkan perasaanmu."
"Ah, itu tidak mungkin." lagi-lagi aku bingung sendiri. Merasa ragu untuk mengatakannya atau tidak. Setelah menerima kabar tadi, aku semakin bimbang. Bagaimana mungkin aku akan mengatakannya, sedang tak lama lagi aku akan meninggalannya. Bayangan jarak yang jauh dan waktu yang lama seakan menjelma menjadi tembok yang menghalangi mulutku untuk berteriak, membuka suara. Kalaupun nanti dia menyambut uluran hatiku, aku pun tak kuasa untuk membuatnya menderita, hanya sekedar menunggu.
"Tapi apa kau pernah berpikir, bagaimana kalau seandainya ia juga suka kamu?! dan selama ini ia telah tersiksa dengan kebisuanmu?!" tanyaku pada diri sendiri.
Aku terdiam. Aku merasa sebagai seorang pengecut, yang telah kalah sebelum berlaga. Aku hanya mampu meratapi ketidakberdayaanku ini, tanpa mampu tuk kepalkan tangan. mungkinkah Aku egois, yang tidak mau tau perasaannya? atau Aku terlalu phobia, Takut dengan kenyataan?
Dan malampun semakin merangkak naik. Tapi gerimis masih saja menemani kebisuanku….

****

"Assalamualaikum.…" suaraku terdengar agak pelan.
"waalaikum salam…. "
"Eh, kakak, kapan datang di Jakarta?" tanyanya kaget sambil diiringi senyum manis. Dia memanggilku kakak karena aku lebih tua dua tahunan dibanding dia. Saat itu ku lihat sinar kegembiraan terpancar dari wajahnya yang agak kecapean.
" Udah dari Kemarin lusa di sini" jawabku singkat.
"Ngomong-ngomong, lagi ngapain kamu Da?"
"Habis Bantu ibu bikin kue" bilangnya.
"wah, kebetulan sekali ya!!"
Sambil mempersilahkanku duduk ia lalu menuju kedalam.
Rumah yang sangat nyaman itu, sepertinya tidak sebanding dengan ukurannya yang menurutku sedehana dan biasa saja. Lantainya yang hanya tertutupi semen selalu bersih dan ramah menyambut setiap kaki yang menginjaknnya. Cahaya yang cukup dan udara yang selalu terganti melalu jendela menghilangkan kepenatanku walau sejenak. Rumahku surgaku. Kata-kata yang tepat untuk istana ini.
Sesaat kemudian Ida membawa keluar segelas air putih, disusul ibunya dari belakang meski saat itu hanya sekedar menyapa.
Menurutku Ibu Ida sangatlah ramah meskipun baru dua kali ini aku berkunjung kerumahnnya. Yang pertama saat aku akan pulang kampung dulu dan yang kedua sekarang ini. Sebenarnya tujuanku datang kerumahnya, disamping silaturrahim, juga ingin bicara dengan seseorang yang telah beberapa bulan menggelisahkan jiwa. Membuat hari-hariku indah dengan kebingungan yang kupendam. Aku ingin dia tau bahwa namanya kini telah terpatri dalam hati. Aku mau dia tau semuanya, meski mungkin nanti harus menelan pahitnya empedu atau petir akan menyambarku. Setelah ngobrol beberapa saat hatikupun mulai bergejolak.
"Ayo, bicaralah…!!" bisikan hatiku merongrongku, membuatku gemetar ragu.
"Eee... Ida, sebenarnya aku kesini mau pamit sama kamu. Mungkin, besok lusa aku akan berangkat ke Libya." suaraku terputus-putus. Dadaku bergetar hebat. Aliran darahku mengalir cepat.
"Ah,… bodohnya aku. Bukan itu yang ingin kukatakan." Kukatai diriku sendiri dalam hati. Seribu makian serasa tak cukup mengganti ketololanku ini.
Terlihat wajahnya sedikit berubah, entahlah aku tak tau pasti sebabnya. tapi aku kira aku salah ngomong, mungkin aku telah menyisipkan suatu kekecewaan dihatinya.
"Ah... aku benar-benar menyesal. Sungguh bodoh aku."
Hening.
"Kak, apa bener mau pergi?!" pertanyaannya terasa berat. sementara itu aku terdiam, sulit rasanya untuk menjawabnya.
"ya, insyaAllah. Do'ain saja biar semuanya baik-baik saja".
"ya, semoga..."
Kami terdiam. Tiba-tiba matanya terlihat agak melebam pucat lalu setitik embun hangat menetes melewati pipinya.
Kini aku seakan tahu dengan yakin bahwa perasaannya sama denganku. Dia ternyata telah menugguku. Menuggu seseorang yang kini menggores perasaannya.
"Ida, maafin aku ya...." sambil kuulurkan selembar tissue berharap ia mengerti semuanya. Sesaat kemudian ia lalu kutinggalkan sendirian, tak ada hadiah untuk kenangan, tak ada harapan yang kujanjikan. Semuanya kupendam, tak tahu apa yang harus kulakukan. Hanya doa dan sebuah buku catatan kugenggamkan ditangannya yang memberanikanku ucapkan perpisahan.
"Ida, maafin aku...." lirih hati mengiringi langkahku.
Hari sabtu malam, aku berangkat bersama temen-temen yang lain, membawa selembar harapan dan segenggam impian baru, meski aku masih terbayangi oleh coretan-coretan kemarin yang buram. Mungkinkah dengan perpisahan ini aku bisa melupakannya....?!

****
Kini aku telah berada di negeri yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tak terkira perasaanku hingga kutulis nyelneh "rasanya nano-nano." Tapi apakah aku telah benar-benar siap menjalani hidupku disini, hidup yang tak hanya sekedar makan tidur dan berleha-leha dengan impian yang muluk-muluk. Hidup yang mengharuskanku mengucurkan keringat bahkan darah. "perubahan" bukankah ini tujuanku kesini?!
Dan hari-hari itu pun telah berlalu bahkan telah genap setahun. Sementara itu, sampai saat ini ternyata aku belum bisa melupakannya. Dan tanpa sadar, ternyata waktu berputar cepat meninggalkanku dibelakang. Sering aku hanya terdiam memandang keluar kamar saat senja mulai menghantarkan matahari sembunyi diujung barat sana. Dan saat itulah, tiap sore kusaksikan sang waktu terbang melambaikan tangannya seraya mengucapkan selamat tinggal padaku.Saat sadar, ku panggil ia untuk kembali. Tapi lidahku telah kaku, pita suaraku terbakar oleh ribuan teriakan tak tentu. Habis sudah semuanya. Yang tersisa hanyalah kekuatan sekedar tuk bersandar menyaksikan rona merah langit yang indah. Menemaniku merajut kenangan dan harapan yang hanya ada dalam khayalku. Dan ketika sampai hari ini, masih saja sore itu melambaikan tangannya, tapi seakan bukan hendak meninggalkanku, namun mengajakku bangun dan berkata "kejarlah aku....”
dan kurasa sore itu begitu indah. (Juni 2007).

Tidak ada komentar: