Rabu, 16 April 2008

Anak anak lampu merah

Matahari telah menyisakan warna merah diujung sana. Lampu-lampu di jalanan ibu kota telah menggantikan terangnya sang penguasa siang. Gemerlap Jakarta mulai dimainkan. Mungkin beberapa menit lagi azan akan bergema, aku yang baru pulang kuliah harus berdiri didalam bis yang penuh sesak. Jalananpun macet ditambah lampu merah yang sudah tak mampu mengendalikan semrawutnya para pengguna jalan. Akhirnya bis putih jurusan kampug rambutan-tanah abang itu harus terhenti dibelakang beberapa kendaraan lain.
Aku yang duduk di pinggir dekat jendela mencoba menghindari pengapnnya suasana dalam bis. Kumainkan telunjukku dikaca yang telah kusam tertutup debu. Kulayangkan sepasang mataku menyusuri jalanan yang bising oleh suara klakson dan deru mesin kendaraan.
Hari ini benar-benar kacau, pikirku. Sudah masuk kuliah terlambat, presentasi yang gagal, perut yang keroncongan duit tinggal goceng lagi. Benar-benar susah hidup ini… huuhhh
Kucoba melupakan semua masalah yang ada, kulihat dari pinggir jalan sana, beberapa anak kecil
turun kejalan diantara celah-celah mobil yang antri bersiap untuk ngebut kedepan. Perkiraanku umur mereka yang paling besar sekitar 11 tahun, sedang yang paling kecil mungkin 6 tahunan. Anak-anak yang malang, gumamku.
Dengan muka yang kusut dan baju yang entah berapa hari atau minggu tak dicuci, dua orang masuk kedalam bis yang ada didepanku. Sedang yang lainnya lagi mendekati sedan-sedan dan angkot yang berjejer rapat. Kusaksikan pemandangan tak masuk akal ini hampir tiap hari. Berpasang-pasang tangan kecil tak berdaya ditengadahkan dari luar kaca mobil. di bawah temaram lampu jalanan itu, Jemarinya yang kehitaman berselimut debu sangatlah tidak wajar untuk dipertontonkan. Denagn mata yang cekung layu dan wajah yang memelas penuh harapan, mereka mencoba mengetuk hati para manusia, mengabarkan kesusahan dan penderitaan yang selalu mempermainkan hidup mereka. Apakah diantara para manusia itu ada yang masih punya nurani sehingga sudi memberikan sedikit rizkinya untuk sekedar mengisi perut yang membusung akibat kurangnya gizi, atau sekedar berbagi rasa atas apa yang telah dikaruniakan kepada mereka oleh sang Ilahi. Aku tak tahan melihatnya, namun tak sangggup pula tuk memalingkan muka masa bodoh dengan derita mereka. Mataku berair, hatiku memekik keras, tapi gaungnya hanya tertahan sampai di tenggorokan. Tuhan apa salah mereka…??
hatiku berkecamuk. prihatin, marah, geram dan perasan tidak berdaya beraduk tak karuan. keadaanku yang mungkin tak jauh beda dengan anak-anak tadi juga membuatku ingin meronta sejadinya. "mengapa kami harus begini?!". tanyaku pada diri sendiri.
Dulu, saat pertanyaan ini mengusikku tuk pertama kali, "sebuah ketidak adilan" adalah kesimpulan pertamaku yang membuatku gelisah dan akhirnya menggoncangkan batinku sejak beberapa tahun yang lalu. bahkan, sampai saat ini masih membekas dalam diriku. Ketidak adilanlah yang membuatku kecewa, menangis, menderita, dan putus asa dengan hidup ini. bahkan sampai membuatku muak dengan keyakinanku yang ada selama ini. Aku bimbang apakah benar Tuhan yang maha bijaksana itu benar adanya?!
memang aku bisa dibilang sebagai seorang anak jalanan yang hidupnya harus sering terlunta-lunta, bahkan untuk membayangkan kenikmatan dunia ini saja, aku harus mendongakkan kepala setinggi-tinggginya hingga seakan aku memang tidak akan sangggup menggapainya. meskipun sekarang keadaanku mungkin lebih baik, dengan lapak dagangan yang lumayan sehingga bisa diandalkan untuk hidup bersama ibu dan seorang adik kecilku, juga biaya kuliahku yang tinggal dua semester lagi, namun hal itu tak menghapus masa laluku yang penuh dengan penderitaan. aku sejak kecil harus rela mondar mandir jualan di bis, kereta, dan jalanan. kemudian untuk beberapa tahun semenjak kelas satu SMP aku agak beruntung karena bapakku bisa mendapatkan tempat untuk membuka toko sebelum akhirnya diluluh lantakkan oleh buldoser atas kebijakan penguasa. kemudian aku mencoba masuk kuliah namun belum satu semester aku terpaksa berhenti demi bapakku yang sakit keras yang akhirnya harus meninggalkan kami bertiga selamanya. aku sangat stres waktu itu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. aku hanya bisa meratapi nasib, sambil bertanya "mengapa...mengapa ...?!". kenangku saat melihat polah anak-anak kecil itu.
****
"Mas, kembaliannya…" aku tersadar, seorang kenek memanggilku sambil menyodorkan beberapa lembar uang kembalian padaku. aku jadi teringat kalau sisa uang yang kubayarkan tadi ternyata belum dikasih.
"ya, makasih...". kataku singkat.
kualihkan lagi pandanganku melihat keluar jalanan. anak-anak tadi ternyata sudah tak karuan keberadaaanya. ada yang masih sibuk didepan, ada juga yang sudah dibelakang sana. satu anak sebenarnya mau masuk kedalam bis yang aku tumpangi, namun mungkin karena melihat bis telah penuh sesak, ia urungkan niatnya. ia hanya berjalan mengelilingi bis sambil mendongak keatas mengharap ada tangan yang menyisihkan sedikit recehannya. Dari atas bis, beberapa tangan diulurkan mencoba memberikan bantuan semampunya. Sesaat kemudian, ia telah berada dihadapanku dan aku benar-benar tak kuasa melihatnya.
"mas…"
kedua tangannya ditengadahkan ke arahku. aku tak tau harus ngasih atau tidak. tapi entahlah, tanganku secara spontan langsung saja memberikan kepingan uang 500-an yang ada disaku. Ingin sekali aku memberinya sesuatu yang lebih dari ini, mengajaknya bermain atau membantunya menjawab sebuah pertanyaan yang biasa ditanyakan ibu guru kepada murid-muridnya: “apa cita-citamu kelak?”. Namun beginilah diriku, keadaanku yang memaksaku hanya bisa untuk mengelus dada dengan bebagai tanya.
"makasih mas.." bilangnya seraya diiringi senyum polos.
"ya, ya…" aku hanya anggukkan kepala pelan.
sedetik kemudian ia berlari ke pinggir jalan. sementara temannya yang sedang beraksi di belakang bis yang kutumpangi terlihat lesu. mungkin ia belum dapat sepeserpun atau karena ia mendapat gampretan orang yang geram dengan anak-anak seperti mereka atau mungkin juga karena lampu merah masih belum menyala. ia masih memelas di samping sedan hitam dibelakang itu.
"sebenarnya mengapa harus begini..?!" pertanyaan itu muncul lagi. pertanyaan mengapa harus ketidak adilan. katanya kita ini hidup di negeri yang kaya dan pastinya hampir 100% beragama, percaya Tuhan dan pembalasan; apalagi negeri kita katanya dipenuhi muslim, kenapa kok kelihatan seperti bangsa Bar-Bar; yang kuat menggencet yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin. kenapa kita jadi bangsa pengisap?? Mana agama? Mana mereka yang mengaku muslim? bukankah ini nggak masuk akal?!! Sederet pertanyaan yang membuatku pusing.
"ini adalah takdir, ujian bagi kita. karena itu hendaknya sabar...". kata sebagian orang.
tapi aku tidak bisa terima. " sabar kan ada batasnya, coba kalau sampean yang seperti ini..!! bukankah kerusakan dan keadaan ini juga karena manusia?? jadi jangan dikit-dikit Tuhan, ini itu Tuhan..." gugatku dalam hati kesal.
dan sementara pertanyaan-pertanyaan semacam itu bergelayut dalam pikiranku, aku teringat kata-kata mereka yang mungkin sangat mengguncang:
"ini karena manusia mau diperbudak oleh doktrin-doktrin yang melemahkan mereka. manusia dijejali dengan janji dan mimpi-mimpi bahwa penderitaan di dunia ini akan diganti dengan kenikmatan yang berlipat dan tiada bandingannya nanti di akhirat. untuk itu, mereka harus bersabar saja dalam himpitan kejamnya dunia seraya menyerahkan semua masalah dalam doa mereka pada Tuhan yang nggak jelas keberadaanya."
"memang manusia telah biasa diajarkan untuk mengadu. ya, hanya sekadar mengadu dalam sujud-sujud yang tak akan pernah bisa mengubah nasib mereka. manusia telah terasing dari dirinya sendiri. mereka telah tunduk takluk pada dogma-dogma yang tak masuk akal. seolah jika mereka berdoa, Tuhan atau dewa-dewa penolong akan langsung turun dari langit, dan selanjutnya masalah BERES. bullshit....!! kata mereka.
dan memang aku pikir selama ini aku telah berdoa siang malam, bersujud dalam serentetan tahajjud, mengadu dalam keluh dan tangisku; tapi apa yang aku dapatkan?? tak ada sama sekali... bahkan dulu saat aku rajin-rajinnya ibadah, berbagai masalah dan kesulitan malah datang menyerbu. toko kami dirampas lalu disusul kematian bapakku yang membuat kami merana dan sekarat sepanjang jalan.
kurasakan ini semua tak ada bedanya dengan anak-anak di jalanan itu. ku pikir mereka harusnya duduk manis denagn seragam dalam sekolah-sekolah yang nyaman atau bermain dengan gelak tawa yang lepas bersama teman-teman sebaya mereka.
tapi apa yang kurasakan..!! apa yang kulihat..!! aku dan mereka mendeita. jerit kami tak ada yang mendengar. semua bisu. bahkan sampai Tuhan yang selama ini aku yakini sebagai sang maha pengasih, tumpuan harapan yang aku andalkan tak kunjung mengabulkan doa dan ratapku. Akhirnya aku jadi ragu. jika Dia benar-benar ada, kemana Dia selama ini? kenapa Dia bisu dengan ketidak adilan? mengapa dia menciptakan manusia baik dan menusia bejat? mengapa harus ada pengisap dan diisap?
sungguh aneh Tuhan itu, katanya ingin manusia menuju kebaikan; tapi kok bikin perbedaan yang aneh ini? Lihatlah!! Disana banyak sekali maling berjas berdasi sedang berpesta dengan kebodohan kami. Disana Para hakim tengah tawar menawar harga dengan para konglomerat yang perutnya semakin membuncit pelit. Juga disana para ustadz, dai, kyai haji-pun tak mau ketinggalan sedang mengobral ilmunya untuk menyenagkan mereka para penguasa. Mereka semua telah menghianati Tuhan. Tapi mengapa Dia diam tak menegur mereka untuk sadar? malah mengapa aku yang selalu menyembahnya selama ini tak dihiraukannya? mengapa ia membiarkan makhluk yang mengharapkannya tersakiti, terluka hingga tak berdaya? juga mengapa Dia membiarkan anak-anak kecil itu jadi tontonan yang memuakkan nurani? apa salah mereka? mengapa Dia langsung berbalik badan ketika manusia telah diciptakanNya?? bukankah ini berarti bahwa tuhan hanyalah dogma? hanyalah proyeksi pikiran manusia yang lemah sebagai pelarian dari kenyataan alam nyata?! entah....

****
waktu sedikit begeser. beberapa saat lagi lampu merah akan menyala. dan deru mesinpun semakin bertambah. asap hitam knalpot yang tak terukur lagi standar emisinya mengepul dari bawah belakang bis putih ini, sedikit menyelimuti pemandanganku disana. anak kecil disamping sedan hitam tadi kini menepi. dengan gontai ia meniti tepian trotoar menuju teman-temannya. keadaannya yang berantakan itu tak membuatnya malu untuk terus melangkah menjalani hidup. meski seandainya ditanya apakah ia suka seperti itu, pastilah dijawabnya TIDAK..!! keadanlah yang memaksa orang seperti dirinya harus mencampakkan malunya. membuang harga dirinya, dan merelakan dirinya menjadi bahan obrolan orang-orang, surat kabar. majalah, ataupun tv dengan penuh keprihatinan serta penghinaannya.
bukankah keberadaan mereka itu sangat menjanjikan keuntungan?! aku yakin.
lihatlah para penulis atau para pemilik media itu..!! tulisan dan berita mereka penuh gambar penderitaan anak-anak jalanan. dengan sedikit style, tulisan dan berita mereka bisa menjadi selalu laku dipasaran. lihat juga pak politikus-pak politikus itu. apa yang mereka gembar-gemborkan saat kampanye?? keadilan sosial, kemiskinan, dan kemakmuran akan menjadi senjata ampuh untuk mengkadali rakyat. ya, dengan menjual obral kata-kata itu. hahaha... tapi, lalu apa selanjutnya? penghapusan orang miskin dengan penggusuran, penipuan, pemaksaan dan pembunuhan secara perlahanlah yang ada, lalu kemakmuran akan merata pada rakyat jenis baru. ya, mereka itu yang biasa dibilang bapakku dulu: orang-orang sugeh. Orang-orang yang duitnya banyak yang seolah telah membeli dunia ini untuk dikontrakkan pada kita yang mlarat dan sekarat.
"ya dunia kita memang gitu. Lihat saja bangsa kita ini.....!!" kata bapak geram.
kalau bapak dulu hanya menyalahkan sekedar para manusia bejatnya, maka sepertinya aku telah lebih dari itu. mengenang hidupku yang kembang kempis ini , ditambah hasil membaca beberapa buku, aku kadang-kadang malah memprotes asal manusia-manusia itu. Tuhan yang sejak aku lahir telah menjadi keyakinanku menjadi pencipta yang nggak punya tangung jawab, pikirku. Dia seenaknya saja memilih yang satu selalu bahagia dan dalam kesenangan sedang yang lain harus menjadi tumbalnya. Tuhan menurutku telah dholim dan tidak adil. Dia tidak membantu orang-orang yang lemah, dan tidak juga menghukum manusia bejat itu. Dia membiarkan semuanya hingga ini membuatku membenciNya lalu akhirnya tidak mempercayainya. kukatakan kalau Tuhan itu hanyalah buatan akal manusia lemah seperti yang mereka bilang. atau paling tidak Tuhan telah mati dengan kebisuanNya.
lalu, siapakah aku ini...?? tanyaku pada diri sendiri.
kalau Tuhan ngak ada, siapa yang nyiptain aku..?! siapa yang naruh aku dalam perut ibuku dulu..? juga siapa pula yang nyiptain sel-sel sperma sama atom-atom yang membentuknya itu?? apa bapak ibu yang nyiptain atau, ada dengan sendirinya, sim salabim gitu?! ah, its impossible.... itu gak masuk akal bangeeet. Pikirku ragu.
kalau ortuku yang nyiptain, berarti mereka jua diciptain dong sama kakek nenek.... terus mereka berdua diciptain juga. dan akhirnya terus kayak gitu sampe manusia pertama. terus siapa pencipta manusia pertama. nah sampe disini aku mentok dengan jawaban bahwa ternyata Tuhan itu harus ada.
sedang kalau jawabannya ada dengan sendirinya, atau kayak teori evolusi itu, maka itu lebih nggak masuk akal lagi. karna kalaupun ada dengan sim salabim, adanya itu dari apa?? kan pasti sesuatu itu ada pembentuk pertamanya kayak daging, tulang, terus sel lalu atom. nah, yang bikin atom siapa??
sementara jawabanku sendiri masih ngambang, antara ada dan tiada, antara Tuhan itu adil dan dholim bunyi klakson yang bersahutan membuyarkan pikiranku. rangkaian jawaban yang hampir kudapatkan berantakan dan hilang. ah... tuhan kusebut lirih namaNya. sambil termenung kupandangi wajah-wajah lugu penuh derita yang menunggu nyala lampu merah, aku lambaikan tangan pada mereka pelan. salah satunya membalas dengan senyum kecil yang manis. aku tak tau arti senyum itu tapi bis putih telah melaju membawa pesan mereka padaku: kalau nggak ada kami,buat apa kamu didunia ini?!.
kini aku telah menemukan jawabannya dan aku yakin Tuhan ada.
(23 nov 2007/ dimuat di bulletin SAHARA KKMI Tripoli-Libya)

Tidak ada komentar: